Monday 4 May 2015

fikih



UJIAN TENGAH SEMESTER FIQIH Dosen pembina:Hepni zain Oleh IMAM SYAHRONI 084131124 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER 2013 TUGAS UTS FIqIH. 1. manfaat saudara mempelajari ilmu fikih? Allah telah menetapkan hukum dari segala sesuatu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ahli ushul fiqihDengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan menjadi orang yang berilmu karena mengetahui hukum-hukum agama. Kalau kita telah menjadi orang yang berilmu, maka kita akan memiliki banyak kelebihan dan keutamaan diatas orang-orang yang tidak berilmu. Dengan memanfaatkan jerih payah para ahli fiqih tersebut, para ahli fiqih kemudian menjelaskan hukum dari segala sesuatu. Penjelasan-penjelasan tersebut tertuang dalam Fiqih Islam. Jadi dengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan mengetahui hukum dari segala sesuatu, sehingga kita bisa menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum tersebut. Dengan menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Allah tersebut, kita akan selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat. Allah berfirman :“Katakanlah : Apakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu?”(QS Az-Zumar: 9)Sebaik-baik hamba Allah ialah yang paling takut kepada-Nya. Seseorang tidak akan memiliki rasa takut kepada Allah kecuali jika dia itu orang yang berilmu. Allah berfirman :“Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu”. (QS Faathir: 28) Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Allah berfirman :“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu”. (QS Al-Mujadalah : 11) Allah memerintahkan bahwa sebagian diantara orang-orang mukmin harus ada yang memperdalam agamanya, untuk kemudian memberi peringatan kepada saudara-saudaranya sesama mukmin yang lain. Allah berfirman :“Mengapa tidak pergi dari setiap kelompok diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang din dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At-Taubah 122) Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan atasnya, maka Allah akan menjadikannya paham dalam masalah agamanya” (HR Bukhari-Muslim, dari Muawiyah ra). 2. terdapat empat prinsip islam dalam menetapkan sebuah hukumdiantaranya :prinsip kemaslahatan,keadilan, dan kesetaraan,jelaskan prinsip-prinsip tersebut..!!  Menegakkan Keadilan Keadilan memiliki beberapa arti.Secara bahasa, keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahallihi). Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua manusia untuk menyatukan urusan dalam ruang limgkup kebenaran dan memadukan dalam kebaikan. Dalam bebrapa ayat al-Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil, diantaranya sebagai berikut: 3. “ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Maidah: 8), 4. Tentang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu telah dicontohkan oleh Nabi sendiri.Pernah suatu hari Nabi menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang perempuan dalam kasus pencurian.Lalu keluarga terhukum meminta `Usamah bin Zaid (salah seorang sahabat dekan Nabi) untuk meminta kepada Nabi agar hukuman diringankan. Ketika `Usamah bin Zaid menghadap kepada Nabi dan menyampaikan persolan itu, Nabi bukan saja menolak permohonan `Usamah, bahkan menegurnya dan bersabda: Apakah anda akan memberikan dispensasi terhadap seseorang dalam menjalankan keputusan hukum (hadd) dari hukum-hukum Allah? … demi Allah, andaikan Fathimah, putri Muhammad yang mencuri maka saya tetap akan memotong tangannya. (HR Muslim, Ahmad, An-Nasai dan ‘Aisyah r.a) Hadis di atas menunjukkan bahwa hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu demi mewujudkan keadilan hukum.Untuk menerapkan keadilan yang merata jugalah, ditetapkan kewajiban membayar zakat.Di samping itu, syariat mengharuskan yang kaya menafkahi kerabatnya yang miskin.Bagi fakir miskin yang tidak mempu bekerja, negara harus memberikan tunjangan huidup bagi mereka sepanjang negara memiliki kemampuan.  Kesetaraan Hukum dalam Islam Permasalahan persamaan atau kesetaraan penerapan hukum merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian.Berapa banyak upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mewujudkannya agar hukum-hukum yang berlaku dapat diterapkan kepada siapa saja.Sejumlah tokoh negarawan telah berusaha semaksimal mungkin untuk menuangkan memeraktekkannya dalam bentuk undang-undang demi tercapainya sebuah cita-cita yang diidam-idamkan. Agama Islam yang datang sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta telah menetapkan prinsip kesetaraan dalam hukum.Bahkan dalam masalah ini, Islam telah mendahului para penyeru kesetaraan hukum dari kalangan tokoh-tokoh negarawan di berbagai masa.Sudah pasti, kesetaraan yang ditawarkan oleh Islam bukan semata-mata bersifat teori sebagaimana yang terjadi di berbagai negara.Hukum buatan manusia seakan-akan sangat sulit untuk diterapkan secara merata untuk seluruh lapisan.Hanya sedikit saja yang bisa diterapkan secara merata, itupun tidak terlepas dari pihak-pihak yang mempunyai kepetingan-kepentingan tertentu.Kesetaraan hukum dalam Islam telah dibuktikan secara nyata oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat beliau dan terus dilaksanakan oleh masyarakat muslimin di seluruh dunia. Kita akan melihat sekelumit contoh-contoh nyata kesetaraan hukum dalam Islam yang telah diterapkan dan akan senantiasa diterapkan di negeri-negeri muslim. Contoh pertama adalah masalah obyek pembebanan syari’at Islam.Pembebanan syari’at berlaku untuk semua kalangan yang tidak mempunyai udzur baik berupa shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Contoh kedua adalah Shalat, yang merupakan rukun Islam kedua, menunjukkan sebuah kesetaraan yang dapat terlihat jelas. Kaum muslimin berdiri berjajar dalam satu barisan tanpa membedakan status sosial, usia, dan warna kulit. Demikian pula dalam hal pakaian ihram yang menyatukan muslimin dari seluruh penjuru dunia. Hukum-hukum had ditegakkan bagi siapa saja yang memang semestinya menerimanya tanpa ada pengecualian. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di umat-umat lain yang hanya menerapkan hukuman kepada orang lemah saja. Telah terjadi sebuah peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang wanita dari Bani Makhzum di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian keluarga wanita inipun meminta bantuan kepada Usamah bin Zaid, yaitu orang yang sangat dicintai oleh Nabi, untuk memohon kepada Nabi agar diringankan hukumannya. Ketika Usamah menyampaikan maksudnya kepada Nabi, beliau bereaksi dengan sikap marah seraya berkata, “Apakah engkau hendak memohon keringanan kepadaku dalam masalah hukum-hukum had yang telah ditetapkan oleh Allah?” Kemudian beliau berkhutbah sambil berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang menyebabkan tersesatnya umat-umat sebelum kalian adalah sikap mereka di mana jika ada seseorang yang berkedudukan mencuri, mereka membiarkannya (tidak menerapkan hukuman), namun jika pelakunya adalah orang lemah maka hukuman ditegakkan. Demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, maka sesungguhnya Muhammad sendiri yang akan memotong kedua tangannya.” 3.jelaskan factor-faktor yang menyebabkan munculnya beragam madhab dalam fikih..!! Munculnya Imam madzhab ialah setelah wafatnya para sahabat, yaitu pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, lahirnya mazhab-mazhab fiqih dipengaruhi oleh tiga factor sebagai berikut: 1. Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’ Perbedaan ini terlihat dalam hal: a. Perbedaan dalam ke-tsiqah-an terhadap suatu hadits dan perbedaan pertimbangan yang digunakan dalam men-tarjih (menguatkan) suatu riwayat atas riwayat yang lain, beralasan dengan hadits-hadits mutawatir dan masyhur, serta merojihkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terpercaya dari kalangan ahli-ahli fiqih. b. Perbedaan dalam menilai fatwa-fatwa sahabat. Abu Hanifah dan para pengikutnya berpedoman pada fatwa-fatwa sahabat tersebut secara keseluruhan. Sedangkan Asy-Syafi’i berpedoman bahwa fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah hasil ijtihad yang tidak ma’shum (terpelihara dari kekeliruan). Maka boleh mengambilnya atau berbeda dengan fatwa-fatwa mereka. c. Perbedaan dalam masalah qiyas sebagai tasyri’.Kalangan Syi’ah dan Dhohiriyah tidak membenarkan beralasan dengan qiyas, dan tidak mengganggap qiyas sebagai sumber tasyri’.Sedangkan mayoritas mujtahid berpendapat sebaliknya. 2. Perbedaan dalam pembentukan hukum Para mujtahid terbagi menjadi 2 kelompok: a. Ahli Hadits Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ulama-ulama Hijaz, mereka mencurahkan diri untuk menghafal hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat, kemudian mengarahkan pembentukan hukum atas dasar pemahaman terhadap hadits-hadits dan fatwa-fatwa tersebut.Mereka lebih condong untuk menjauhi berijtihad dengan ‘pendapat’ dan tidak menggunakannya kecuali dalam keadaan sangat darurat. b. Ahli Ra’yi Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mujtahid-mujtahid Irak.Mereka memiliki pandangan yang jauh tentang maksud-maksud syari’at.Mereka tidak mau menjauhi ‘pendapat’ karena pertimbangan keluasan ijtihad, dan mereka menjadikan ‘pendapat’ sebagai lapangan luas dalam sebagian besar pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan pembentukan hukum. Akan tetapi pembagian ini tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak menggunakan hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha Hijaz tidak berijtihad dan menggunakan ra’yu.Karena kedua kelompok ini rahimahumullah pada dasarnya sepakat bahwa hadits adalah hujjah syar’iyyah yang menentukan dan ijtihad dengan ra’yu, yakni dengan qiyas, adalah juga alasan syar’iyyah bagi hal-hal yang tidak ada nashnya. 3. Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash. Misalnya fuqaha berbeda pendapat tentang kata ‘quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’…” Kata ‘quru’ adalah lafaz musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti suci atau haid.Sebagian ulama Hijaz berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak adalah 3 kali suci.Sedangkan ulama-ulama Irak berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid. 4. bagaimna sikap saudaratentang ragam madhab dalam fikih..? Menyikapi Perbedaan Madzhab Tujuan madzhab sama, namun jalan untuk menuju ke tujuan beragam. Banyak sebab yang memunculkan perbedaan cara .Pengaruh lingkungan dan budaya dapat memberikan pengaruh yang besar. Keragaman itu sudah menampakan dirinya dibidang fiqih dalam berbagai mazhab di antaranya dalam bentuk mazhab AbuHanifah , mazhab Hambali , mazhab Maliki , mazhab Syafi'i dan mazhab lainnya. Ia juga menampakan pada aliran aliran Sufi yang berbicara dengan bahasa halus mengungkapkan perasaanmanusia , berusaha mengabdi kepada Islam. Dengan tujuan menyempurnakan hati dan ruh mebersihkannya dan mengokohkannya. Sekalipun mazhab Islam banyak, bukan berarti umat Islam tidak lagi memiliki kesatuan akidah, sistem dan politik.Sebab, perbedaan mazhab tersebut tetap tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah akidah, sistem dan politik Islam. Di samping itu, perbedaan tersebut merupakan rahmat dalamsyar‘i. Perbedaan di antara Imam Mazhab bukanlah perselisihan namun perbedaan yang dapat diterima atau disebut furuiyyah (cabang) dan kaum muslim dapat memlih di antara empat pilihan tersebut. Hendaknya ukuran standar Ahlussunnah Waljamaah menjadi penentu terhadap apa yang kita ambil dan kita buang dalam membuat konstruksi dan solusi baru. Setiap mazhab mengandung sisi kebenaran . Kita keliru kalau mengabaikan bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan aliran yang berbeda beda. Sangat keliru kalau kita berusaha membendung dan melenyapkan perbedaan perbedaan tersebut yang artinya melenyapkan fitrah yang Allah gariskan atas manusia. Masing-masing harus berusaha menyebarkan cahaya yang di bawa Al Qur'an dan bidangnya tanpa mengerahkan tenaganya untuk berkonflik dengan pihak lain . Jika memang tidak bisa sepakat dengan pihak lainnya, Setidaknya jangan memicu konflik.Setiap Muslim harus menghindari konflik dan permusuhan dengan kaum Muslim serta tidak mencela dan menggunjing mereka. Kita harus belajar memuji setiap amal baiknya dan membantu orang yang berzikir kepada Allah SWT . Dengan bantuan Allah SWT kita dapat mengharapkanterbangunnya kerja sama, persatuan Dan keharmonisan di antara umat Islam. Secara faktual, potensi luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariah. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Quran dan Hadis Nabi yang tidak berbahasa Arab mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya. Adapun secara syar‘i, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariah tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad.Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl).Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni. Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keragaman. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Demikian halnya, potensi nash-nash syariah untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum.Keniscayaan faktual dan syar‘i tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.Berikut beberapa cara untuk menyikapi sebuah perbedaan: 1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara baik dan benar. 2.Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil 3. Memahami perbedaan dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. 4. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut madzhab lain dengan baik. 5. Masing-masing berhak untuk mengikuti dan mengamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. 6.Terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan .umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi. 7. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan.

Thursday 30 April 2015

A3 tarbiyah



beografi dan pemikiran gusdur tentang pendidikan








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H.Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman Wahid. 

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pembahasan di atas, penulis dapat merumuskan  masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi K.H. Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid?
3.      Apa saja konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan?
4.      Bagaimana analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid?
5.      Bagaimana relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini?
     
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mengetahui biografi K.H. Abdurrahman Wahid.
2.    Mengetahui setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid.
3.    Mengetahui konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan.
4.    Mengetahui analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid.
5.    Mengetahui relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti ‘Sang Penakluk’, sebuah nama yang diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. [1][1]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara.  Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang.  Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[2][2]



B.     Setting Sosial
Jombang adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani bisa bertahan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dalam perkembangannya, dunia petanian di wilayah ini mengalami pengaruh industrialisasi yang menyebabkan mereka mengadopsi pola pertanian modern.
Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota inilah muncul beberapa kiai besar dan pesantren yang terkenal. Seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahid Hasyim yang merupakan kakek serta ayah dari Gus Dur dengan pesantren Tebuireng, K.H. Wahab Hasbullah dengan psantren Tambakberas, dan lain sebagainya. Dari kota ini pula muncul tokoh-tokoh kelas nasional dari budayawan, politisi, seniman, intelektual. Salah satunya adalah Gus Dur sendiri, salah satu tokoh NU dan warga Jombang yang pernah menjabat sebagai Presiden RI ke-4.[3][3]
Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan  berbagai tokoh pergerakan. Di  Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis.  Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu menjembatani  secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren  dengan dunia modern.
Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula, Gus Dur  belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia.
Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan,  pluralisme dan mempertahankan nasionalisme.[4][4]

C.    Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam
1.      Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam
 Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[5][5]
Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.[6][6]
Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.
Singkatnya, konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7][7]
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam.
2.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[8][8]
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
3.      Kurikulum Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:
a.       Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan);
b.      Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik;
c.       Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building).
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.[9][9]


4.      Metode pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[10][10]
Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.
5.      Konsep pendidik
Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.
6.       Konsep peserta didik
Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.
7.      Evaluasi Pembelajaran
Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.

D.    Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.
E.     Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan Pendidikan Saat Ini
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih dipertahankan dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya  sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan berkarakter.
Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.





BAB III
PENUTUP
Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern.








DAFTAR PUSTAKA


Faisol. 2013. Gus Dur dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Rifa’i, Muhammad. 2013. Gus Dur.  Yogyakarta: Garasi.
Saefulloh, Aris. 2003. Gus Dur vs Amien Rais. Yogyakarta: Laelathinkers.
Sholahuddin, M. Sugeng. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Pekalongan: Stain Press.




[1][1] M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Pekalongan: Stain Press, 2005), hlm. 15.
[2][2] Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), hlm. 65-67.
[3][3] Muhammad Rifa’i, Gus Dur (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 20-21.
[4][4] Ibid., hlm. 42.
[5][5] Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 37.
[6][6]Ibid., hlm. 26-27.
[7][7] Ibid, hlm. 115.
[8][8] Ibid., hlm. 75.
[9][9] Ibid, hlm. 28.
[10][10] Ibid, hlm. 127-128.