genious person
Saturday 5 January 2019
Wednesday 24 January 2018
ayat tentang ilmu pengetahuan
MAKALAH
AYAT-AYAT
TENTANG ILMU PENGETAHUAN
Disusun
untuk memenuhi mata kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen
pembimbing : H. Mawardi Abdullah, Lc., MA,
Disusun
oleh : kelompok 07
MOH IQBAL ABDULLAH KAFI 084131125
NURISH SHOBAHUL KHOIRI 084131098
IMAM SYAHRONI 084131124
AHMAD ARDIYANTO 084131130
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
NOVEMBER 2014
BAB I
PEMBAHASAN
- MUNASABAH
Surat At Tiin menerangkan
kedudukan manusia dan keadilan Allah s.w.t.
HUBUNGAN SURAT AT TIIN DENGAN SURAT AL 'ALAQ
HUBUNGAN SURAT AT TIIN DENGAN SURAT AL 'ALAQ
- Surat At Tiin menerangkan bentuk kejadian
manusia dan surat Al 'Alaq menerangkan bahwa manusia dijadikan pada
permulaannya dari segumpal darah.
- Pada surat Al 'Alaq dijelaskan lagi
beberapa sifat-sifat manusia yang menjadikan mereka hina dan sengsara, dan
sifat-sifat manusia yang menjadikan mereka berbahagia.
Surat Al 'Alaq terdiri atas 19 ayat,
termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Ayat 1 sampai dengan 5 dari surat ini
adalah ayat-ayat Al Quran yang pertama sekali diturunkan, yaitu di waktu Nabi
Muhammad s.a.w. berkhalwat di gua Hira'. Surat ini dinamai Al 'Alaq
(segumpal darah), diambil dari perkataan Alaq yang terdapat pada ayat 2
surat ini. Surat ini dinamai juga dengan Iqra atau Al Qalam.
Pokok-pokok isinya:
Perintah memba Al Quran; manusia dijadikan
dari segumpal darah; Allah menjadikan kalam sebagai alat mengembangkan
pengetahuan; manusia bertindak melampaui batas karena merasa dirinya serba
cukup; ancaman Allah terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi kaum
muslimin melaksanakan perintah-Nya.
- AYAT SURAT AL-ALAQ AYAT 1-5
1. اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ
2. خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
3. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
4. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
5. عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ
- TERJEMAH
1.
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.
Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.
Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5.
Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
- MUFRADHAT
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Maha
Pemurah
|
الأكرم
|
Bacalah
|
اقرأ
|
Yang
telah mengajarkan
|
علم
|
Dengan
menyebut nama Tuhanmu
|
باسم ربك
|
Pena
|
القلم
|
Yang
telah menciptakan
|
خلق
|
Yang
belum diketahui
|
لم يعلم
|
Manusia
|
الإنسان
|
|
|
Dari
segumpal darah
|
من علق
|
- ASBABUN NUZUL
Disebutkan
dalam hadits-hadits shahih, bahwa Nabi SAW mendatangi gua hira’ (hira’ adalah
nama gunung di Makkah) untuk tujuan beribadah selama beberapa hari, beliau
kembal kepada istrinya, Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga
pada suatu hari di dalam gua, beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat
membawa wahyu Illahi. Malaikat berkata kepadanya : “Bacalah!” beliau menjawab “Saya
tidak bisa membaca”. Perawai mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat
memegang nabi dan mengguncangkan badannya hingga nabi kepayahan, dan setelah
itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya “Bacalah!” Nabi menjawab “Saya
tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat
memegang nabi dan mengguncangkannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu
barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat Al-Alaq
1-5.
Para
perawi hadits mengatakan bahwa Nabi SAW kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan
gemetar seraya mengatakan, “Selimuti aku, selimutilah aku!” kemudian Khadijah
menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan
semuanya kepada Khadijah, kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah
Ibnu Naufal Ibnu ‘Abdi ‘I-Uzza (anak paman Khadijah), berdasarkan hadits
tersebut dapat disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal ayat-ayat
Al-Qur’an diturunkan dan merupakan rahmat Allah pertama yang diturunkan kepada
hamba-hamba-Nya, serta kitab pertama ditujukan keapada Rasulullah SAW.
- TAFSIR
AYAT
1.
(Bacalah)
maksudnya mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut nama Rabbmu yang
menciptakan) semua makhluk.
2.
(Dia
telah menciptakan manusia) atau jenis manusia (dari 'alaq) lafal 'Alaq bentuk
jamak dari lafal 'Alaqah, artinya segumpal darah yang kental.
3.
(Bacalah)
lafal ayat ini mengukuhkan makna lafal pertama yang sama (dan Rabbmulah Yang
Paling Pemurah) artinya tiada seorang pun yang dapat menandingi kemurahan-Nya.
Lafal ayat ini sebagai Haal dari Dhamir yang terkandung di dalam lafal Iqra'.
4.
(Yang
mengajar) manusia menulis (dengan qalam) orang pertama yang menulis dengan
memakai qalam atau pena ialah Nabi Idris a.s.
5.
(Dia
mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia (apa yang tidak diketahuinya)
yaitu sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis dan berkreasi serta
hal-hal lainnya.
- HIKMAH AYAT /
KESIMPULAN
Setelah kita mempelajari dan memahami isi dari surat al-alaq ayat 1-5 kita
dapat mengetahui bahwa dengan ayat ini menyatakan bahwa manusia dijadikan dari
segumpal darah atau menurut pendapat lain al alaq sesuatu yang melekat dengan
ayat ini terbuktilah tentang tingginya nilai membaca, menulis dan berilmu
pengetahuan. andai kata tidak karna kalam niscaya tidak ada banyak ilmu
pengetahuan yang tidak terpelihara dengan baik. Banyak
pengertian yang tidak tercatat dan banyak ajaran agam yang hilang. Pengetahuan orang
dulu tidak di kenal oleh orang oarng sekarang baik ilmu seni dan
penemuan-penemuan mereka. Ayat ini juga menjadikan bukti kekuasaan allah yang
menjadikan manusia dari benda mati yang tidak berbentuk dan berupa dapat di
jadikan allah menjadi manusia yang sangat berguna dengan mengajarinya pandai
membaca dan menulis.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al Misbah vol, xv,
Jakarta: lentera hati
perbandingan madzhab
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Pengertian Shalat
Menurut bahasa shalat adalah berdoa untuk
kebaikan. Sedangkan menurut istilah ahli
fiqih, shalat adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini meliputi
semua shalat yang didahului dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Pengertian ini tidak mencakup sujud tilawa ketika mendengar ayat Al Qur’an yang
mengandung sesuatu yang dapat menimbulkan sujud tersebut tanpa takbir atau
salam.
a)
Menurut madzhab Maliki (Al Malikiyah) dan
madzhab Hambali (Hanabilah)
Mereka memberi definisi, bahwa shalat adalah
pendekatan diri kepada Allah dengan perbuatan yang memilki takbiratul ikhram
dan salam atau berupa sujud saja. Yang dimaksud dengan pendekatan diri kepada
Allah adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kehadirat Allah.
Sedangkan yang dimaksud perbuatan
menurut mereka adalah apa saja yang menngandung perbuatan anggota badan baik
berupa ruku’ atau sujud, dan perbuatan lisan yang terdiri dari membaca Al
Qur’an dan bertasbih, dan juga mengandung perbuatan hati berupa rasa khusyu’
dan tunduk.
b)
Menurut Hanafi dan syafi’i
Dalam arti ini tidak berbeda pendapat dengan
golongan maliki dan hambali. Perbedaan pendapat diantara mereka adalah hanya
pada sujud yang dikatakan sebagai shalat secara syara’. Dan urusan mengenai ini
adalah tergolong mudah.
1.2.Macam-Macam
Shalat
Ada beberapa
shalat yang dijelaskan oleh beberapa madzhab sebagaimana yang diterangkan
berikut ini.
1.
Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
Mereka berpendapat bahwa shalat itu ada empat
macam, yaitu:
Ø Shalat fardhu
ain, yaitu seperti shalat lima waktu
Ø Shalat fardhu
kifayah, yaitu seperti shalat janazah
Ø Shalat wajib,
yaitu shalat witir, shalat qadha nafilah yang rusak sesudah (mulai)
mengerjakannya dan dua shalat ied
Ø Shalat nafilah
baik yang masnunah maupun yang mandubah.
Adapun sujud
tilawa menurut mereka adalah bukan shalat sebagaimana yang telah kita maklumi.
2.
Madzhab Maliki (al Malikiyyah)
Mereka berpendapat bahwa shalat terbagi
menjadi lima macam. Yang demikian ini karena
ada kalanya shalat itu mengandung ruku’, sujud, membaca, takbiratul
ikhram dan salam, atau adakalanya tidak mengandung.
Bagian pertama terdiri dari tiga macam, yaitu:
Ø Shalat fardhu
lima waktu
Ø Shalat nafilah
dan sunnah
Ø Shalat
raghibah (yang disenangi), yaitu dua rakaat fajar.
Sedangkan
bagian yang kedua terdiri dari dua macam, yaitu:
Ø Sesuatu yang
mengandung sujud saja, yaitu sujud tilawa
Ø Sesuatu yang
mengandung takbir dan salam saja, tanpa ruku’ dan tanpa sujud, yaitu shalat
janazah.
Dengan
demikian shalat secara keseluruhan ada lima macam.
3.
Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Mereka berpendapat bahwa
shalat terbagi menjadi dua macam yaitu:
Ø Shalat yang
mengandung ruku’ sujud dan bacaan. Shalat ini terdiri dari dua macam yaitu
shalat fardhu lima kali dan shalat nafilah
Ø Shalat yang
tanpa ruku’ dan tanpa sujud akan tetapi tetap mengandung takbir, bacaan dan
salam, yaitu shalat janazah.
Menurut golongan syafi’iyyah tidak ada shalat
wajibah sebagaimana pendapat golongan hanafi dan tidak ada shalat raghibah
sebagaimana pendapat golongan maliki.
Golongan syafi’i tidak menamakan sujud tilawa
sebagai shalat seperti golongan hambali dan golongan maliki. Dengan demikian
menurut golongan syafi’iyyah bahwa shalat itu ada tiga macam, (shalat fardhu
lima kali, shalat nafilah dan shalat janazah).
4.
Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
Mereka berpendapat bahwa shalat terbagi
menjadi empat macam, yaitu shalat yang mengandung ruku’, sujud, takbiratul
ikhram dan salam. Shalat ini terbagi menjadi dua macam, yaitu shalat fardu lima
waktu dan shalat sunnah. Sedangkan macam yang ketiga adalah shalat yang
mengandung takbir, bacaan serta salam, dan tidak mengandung ruku’ dan sujud,
yaitu shalat janazah. Dan bagian yang keempat adalah shalat yang hanya
mengandung sujud saja. Yaitu sujud tilawa. Sujud tilawa ini menurut golongan
hambali adalah shalat, sebagaimana pendapat golongan maliki.
1.3. Syarat-Syarat
Shalat
Shalat mempunyai beberapa syarat yang menjadi
ketergantungan sahnya. Sehingga tidak sah shalatnya apabila tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Dan adapula syarat-syarat yang menjadi ketergantungan
kewajibannya. Sehingga tidak wajib shalat apabila tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut.
Istilah yang dipakai para madzhab berbeda-beda
dalam menjelaskan beberapa syarat dan bilangannya. Untuk itu kami sebutkan
secara rinci sebagaimana berikut ini.
1.
Madzhab Maliki (Al Malikiyyah)
Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat shalat
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu syarat wajib saja, syarat sah saja dan
syarat wajib yang sekaligus sebagai syarat sah.
Bagian pertama yang berupa syarat wajib saja
ada dua, yaitu:
a.
Baligh; jadi tidak wajib shalat atas anak
kecil, akan tetapi anak tersebut diperintah untuk mengerjakan shalat ketika
(telah memasuki) umur tujuh tahun dan dipikul (yang tidak menimbulkan
cidera-pent) ketika berumur sepuluh tahun supaya ia terbiasa mengerjakan
shalat. Sesungguhnya ketentuan-ketentuan syara’ walaupun semuanya didasarkan
untuk mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan (mafsadah) dan bagi
orang-orang yang berakal tentu tidak akan mendapatkan kesulitan untuk melakukan
ketentuan tersebut setelah ia mendapatkan beban, akan tetapi kebiasaan
mempunyai hukum sendiri. Dan manusia sudah maklum bahwa faedah dari mengerjakan
shalat baik dari segi materiil maupun moral spiritual sudah cukup sebagai
dorongan baginya untuk mengerjakannya. Akan tetapi dengan tidak terbiasa
mengerjakan shalat, ia akan tetap duduk meninggalkan shalat.
b.
Tidak dipaksa untuk meninggalkan shalat.
Sebagaimana ketika ada seorang dzalim yang memerintahkan untuk meninggalkan
shalat dan apabila ia tidak mau, maka orang zhalim tersebut akan memenjarakan
atau memukulnya, atau membunuhnya, atau mengikat tangannya atau menepuk mukanya
dihadapan orang banyak apabila yang demikian ini akan mengurangi martabatnya.
Dengan demikian orang yang meninggalkan shalat karena dipaksa tidak ada dosa
atasnya, bahkan shalat itu tidak wajib atasnya selama ia dalam keadaan dipaksa.
Karena orang yang dipaksa tidak lagi mendapat beban (taklif).
Menurut mereka, yang tidak wajib atas orang
yang dipaksa adalah perbuatan shalat yang secara lahir saja. Sedangkan selain
dari yang lahir dan ia mampu bersuci, maka wajib mengerjakan apa yang ia mampu,
seperti niat, takbiratul ikhram, membaca dan isyarah. Ia adalah seperti orang
sakit yang lemah yang hanya wajib mengerjakan apa yang ia mampu dan gugur
baginya apa yang ia tidak mampu.
Adapun bagian yang kedua adalah syarat sah
saja, yaitu ada lima macam:
a)
Suci dari hadats
b)
Suci dari kotor
c)
Islam
d)
Menghadap kiblat
e)
Menutup aurat
Sedangkan bagian yang ketiga adalah syarat
wajib yang sekaligus sebagai syarat sah, yaitu ada enam:
a)
Telah sampai kepadanya dakwah nabi muhammad
SAW. Apabila belum datang kepadanya dakwah Nabi, maka tidak wajib shalat
atasnya dan tidak sah shalatnya apabila ia tetap mengerjakannya.
b)
Berakal
c)
Memasuki waktu shalat
d)
Tidak kehilangan dua perabot bersuci (wudhu dan tayamum) yaitu
tidak mendapatkan air untuk wudhu dan tidak mendapatkan sesuatu yang dapat
digunakan tayamum.
e)
Tidak dalam keadaan tidur dan tidak dalam
keadaan lupa
f)
Tidak dalam keadaan haid dan tidak dalam
keadaan nifas.
Dari sini dapat diketahui bahwa golongan Malik
menambahkan Islam” pada syarat sah shalat dan tidak menjadikannya sebagai
syarat wajib. Sehingga menurut mereka orang-orang kafir tetap wajib mengerjakan
shalat, walaupun shalat tersebut tidak sah karena tidak memenuhi salah satu
syarat sahnya yaitu Islam. Ini berbeda dengan golongan yang lain yang
menjadikan “Islam” sebagai syarat wajib. Golongan Malik juga menganggap “Suci”
sebagai dua syarat, yaitu suci dari hadats dan suci dari kotor. Mereka juga
menambahkan “tidak dipaksa meninggalkan shalat” sebagai syarat wajib.
2.
Madzhab Syafi’i(Asy Syafi’iyyah)
Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi dua
macam, yaitu syarat wajib syarat sah. Syarat wajib menurut mereka ada enam,
yaitu:
a)
Sampai kedanya dakwah Nabi Muhammad SAW
b)
Islam.orang kafir menurut golongan Syafi’i
tidak wajib shalat. Akan tetapi ia disiksa karena tidak melakukan shalat
sebagai tambahan dari siksa kufurnya. Sedangkan orang yang keluar dari islam
(murtad), ia tetap berkewajiban shalat karena melihat dari asalnya ia adalah
orang islam.
c)
Berakal
d)
Baligh
e)
Suci dari haid dan nifas
f)
Sehat indranya, walaupun hanya pendengaran
atau penglihatan saja
Adapun
syarat-syarat sahnya ada tujuh, yaitu:
a)
Suci badan dari hadats besar dan hadats kecil
b)
Suci badan, pakaian dan tempat dari najis
c)
Menutup aurat
d)
Menghadap kiblat
e)
Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang,
walaupun dengan dugaan
Dalam
mengetahui datangnya waktu shalat ini ada tiga tingkatan, yaitu:
1)
Mengetahui dengan dirinya sendiri atau atau
diberi tahu oleh orang yang dapat dipercaya yang mengetahui datangnya waktu
shalat dengan jam yang pasti, atau dengan mendengar muadzin yang mengetahui
datang waktu shalat, seperti muadzin pada masjid yang memiliki jam, atau lain
sebagainya
2)
Mengetahui dengan ijtihad, yaitu berdaya upaya
untuk mengetahui datangnya waktu shalat dengan cara dan sarana yang dibenarkan
untuk mencapai tujuan
3)
Mengetahui karena mengikuti orang yang
melakukan penelitian atau berijtihad.
Bagi orang
yang melihat harus memperhatikan dan menjaga tertib ini. Sedangkan gagi orang
buta boleh bertaklid.
f)
Mengetahui tata cara shalat
g)
Meninggalkan sesuatu yang dapat membatalkan
shalat
Dalam hal ini golongan Syafi’iyyah melibihi golongan
Malikiyyah mengenai syarat sah shalat pada tiga hal, yaitu:
a.
Mengetahui tata cara shalat, yaitu semisal
tidak meyakini yang fardhu dalam shalat sebagai sunnah apabila ia orang bodoh,
dan dapat membedakan antara yang fardhu dan yang sunnah
b.
Meninggalkan perkara yang membatalkan shalat,
yaitu dengan tidak melakukan sesuatu yang dapat menafikan (membatalkan)shalat
sampai shalat itu sempurna
c.
Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang
pada shalat yang telah ditentukan waktunya (muqqatah)
Golongan Syafi’iyyah juga menambahkan “Islam”
dalam syarat wajib, akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang kafir yang
sebelumnya tidak beragama islam tidak wajib shalat atasnya. Artinya di dunia
ini orang kafir tesebut tidak dituntut, walaupun diakhirat ia disiksa karena tidak
mengerjakan shalat sebagai tambahan dari siksa kufurnya. Mereka juga
berpendapat apabila orang kafir itu menferjakan shalat, maka batal shalatnya.
Dengan demikian “Islam” adalah juga sebagai syarat sah shalat (disamping
sebagai syarat wajib).
3.
Madzhab Hanafi (Al Hanafiyyah)
Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi
dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah, sebagaimana golongan Syafi’i.
Syarat wajib menurut golongan Hanafi ada lima,
yaitu:
a)
Telah sampai dakwah Nabi Muhammad SAW.
Kepadanya
b)
Islam
c)
Berakal
d)
Baligh
e)
Suci dari haid dan nifas
Banyak dari golongan Hanafi yang tidak
menyebut “telah sampainya dakwah Nabi” sebagai salah satu syarat wajib, sebab
telah cukup dengan menyebut “Islam”.
Adapun syarat-syarat sah menurut mereka ada
enam, yaitu:
a)
Suci badan dari hadats dan najis
b)
Suci pakaian dari najis
c)
Menutup aurat
d)
Niat
e)
Menghadap kiblat
Dalam syarat wajib, golongan Hanafi
menambahkan “Islam” sebagaimana golongan Syafi’i. Hanya saja golongan Hanafi
berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa secara mutlak sebagai siksa
tambahan dari kekufurannya. Dan jelas bahwa siksa orang kafir sebagai tambahan
dari dosa kufurnya adalah masalah teori dan bukan masalah praktik (amali).
Karena siksa kufur adalah siksa yang paling berat sehingga siksa-siksa yang
lain adalah berada dibawahnya atau paling tidak sama nilainya dengan siksa
kufur tersebut.
Golongan Hanafi juga menambahkan “Niat”
sebagai syarat sah, sehingga tidak sah shalat apabila dikerjakan tanpa niat.
Dan dengan niat itulah ibadah dapat dibedakan
dengan adat atau sekedar kebiasaan, dan juga dengan niat dapat dibedakan ibadah
yang satu dari yang lain, sesuai dengan pendapat dari golongan Hambali yang
menyebut niat sebagai syarat dan golongan Syafi’i yang menyebutnya sebagai
rukun sebagaimana pendapat yang masyhur dari golongan Malik sebagaimana
diterangkan pada “rukun-rukun shalat”.
Pada bagian yang lalu yaitu tentang pembahasan
masalah niat telah diketahui tentang perbedaan antara syarat dan rukun. Dan
bahwasannya sesuatu itu tidak sah tanpa syarat dan rukun tersebut. Dengan
demikian menurut pendapat empat madzhab, tidak sah shalat tanpa niat.
Adapun mengenai niat itu sebagai syarat yang
berada diluar shalat atau sebagai rukun yang berada didalam shalat sebagai juz
atau bagiannya adalah merupakan masalah yang khusus bagi para penuntut ilmu
yang ingin mengetahui secara mendalam tentang seluk beluk sesuatu.
Golongan Hanafiyyah tidak menyebutkan bahwa
“masuk waktu shalat” sebagai syarat wajib dan tidak pula menyebutnya sebagai
syarat sah. Yang demikian itu karena mereka berpendapat bahwa “masuk waktu”
adalh sebagai syarat melaksanakan shalat bukan syarat shalat itu sendiri,
sebagaimana telah diterangkan pada bab tayamum.
4.
Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
Mereka tidak membagi syarat shalat kecuali
syarat wajib dan syarat sah, sebagaimana pendapat golongan lain. Bahwa menurut
mereka syarat-syarat itu ada sembilan, yaitu:
a)
Islam
b)
Berakal
c)
Tamyiz (dapat membedakan)
d)
Suci dari hadats apabila mampu
e)
Menutup aurat
f)
Menjauhi najis baik dari badan, pakaian maupun
tempat
g)
Niat
h)
Menghadap kiblat
i)
Memasuki waktunya
Mereka berpendapat bahwa semua ini adalah
sebagai syarat sah. Sebagaimana dalam QS An Nisaa’:103.
Arti lafal “kitaaban” adalah diwajibkan dan
difardhukan. Sedangkan arti lafal “mauquutan” adalah yang dibatasi dengan
waktu-waktu tertentu. Dari ayat tersebut dapat digambarkan seakan-akan Allah
berfirman bahwa shalat itu fardhu atas orang-orang islam pada waktu-waktu yang
telah ditentukan, dan Nabi Muhammad SAW. Mendapat perintah dari Allah SWT.
Supaya menerangkan dan menjelaskan pada umat manusia mengenai apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Beliau.
Allah SWT sungguh telah menberikan taklif
(beban) kepad orang-orang yang beriman untuk mendirikan shalat, dimana taklif
ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Mungkin ad sebagian orang yang mengatakan
bahwa yang ditegaskan oleh A Qur’an adalah mengenai kefardhuan shalat,
sedangkan jumlah yang lima waktu dan dengan cara yang tertentu tidak ada
dalilnya dalam Al Qur’an. Jawabannya adalah bahwa Al Qur’an telah memerintahkan
Nabi untuk menjelaskan pada umat manusia apa yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada mereka. Dan Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk mengikuti apa
yang dibawa oleh Nabi kepada mereka.
Karena itulah maka para imam ijma’ (sepakat)
bahwa shalat fardhu ada lima, yaitu dzuhur, ashar, maghrib, isya, subuh. Hanya
saja yang menjadi perselisihan diantara mereka adalah mengenai batas-batas
waktunya.
Sebagian dari mereka misalnya, ada yang
mengatakan bahwa waktu itu terbagi menjadi waktu dharuri dan waktu ikhtiari.
Mereka ini adalah golongan malik. Dan sebagian diantara mereka lagi ada yang
berpendapat bahwa waktu dzuhur itu habis apabila bayangan telah sepadan dengan
benda yang berbayangan tersebut. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa
waktu dzuhur itu habis ketika bayangan mencapai dua kali dari benda yang
berbayangan tersebut. Demikian seterusnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)