Thursday 30 April 2015
beografi dan pemikiran gusdur tentang pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di tengah-tengah situasi reformasi
yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi,
politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya
pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H.Abdurrahman Wahid yang
lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan
kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari
tradisi Ahl Al-sunnah wal jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Perannya sebagai presiden Republik
Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk
memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela
golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme
Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang
ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya.
Sebagai seorang ilmuwan yang jenius
dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus
dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia
dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam. Dalam makalah ini akan
dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman
Wahid.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang pembahasan di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
biografi K.H. Abdurrahman Wahid?
2.
Bagaimana
setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid?
3.
Apa saja
konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan?
4.
Bagaimana
analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid?
5.
Bagaimana
relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
biografi K.H. Abdurrahman Wahid.
2.
Mengetahui
setting sosial K.H. Abdurrahman Wahid.
3.
Mengetahui
konsep pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dalam pendidikan.
4.
Mengetahui
analisis terhadap pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid.
5.
Mengetahui
relevansi K.H. Abdurrahman Wahid dengan pendidikan saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
K.H.
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang,
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad
Dakhil. Ad Dakhil berarti ‘Sang Penakluk’, sebuah nama yang diambil dari
seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam
di Spanyol. [1][1]
Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara.
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari,
pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar
di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur
merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih (kalangan
kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan
ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan
nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak,
yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita
Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.
Gus Dur wafat
pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo
(RSCM) Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi diantaranya
penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.[2][2]
B.
Setting Sosial
Jombang
adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian
penduduknya adalah bertani. Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani
bisa bertahan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dalam perkembangannya, dunia
petanian di wilayah ini mengalami pengaruh industrialisasi yang menyebabkan
mereka mengadopsi pola pertanian modern.
Kota Jombang
dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota inilah muncul
beberapa kiai besar dan pesantren yang terkenal. Seperti K.H. Hasyim Asy’ari
dan K.H. Wahid Hasyim yang merupakan kakek serta ayah dari Gus Dur dengan
pesantren Tebuireng, K.H. Wahab Hasbullah dengan psantren Tambakberas, dan lain
sebagainya. Dari kota ini pula muncul tokoh-tokoh kelas nasional dari
budayawan, politisi, seniman, intelektual. Salah satunya adalah Gus Dur
sendiri, salah satu tokoh NU dan warga Jombang yang pernah menjabat sebagai
Presiden RI ke-4.[3][3]
Sejak kecil
Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal
masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia
4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta
dan berkenalan dengan berbagai tokoh
pergerakan. Di Jakarta, Gus Dur belajar
banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari
kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis.
Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan
pengetahuan, dan mampu menjembatani
secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren dengan dunia modern.
Gus Dur
memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di
kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan
komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas Baghdad
yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula, Gus
Dur belajar sufisme dan sering melakukan
ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia.
Ketika
pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang
diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan, pluralisme dan mempertahankan nasionalisme.[4][4]
C.
Konsep pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Islam
1.
Pengertian
dan Konsep Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan sistem yang
diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan
ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan
dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya,
pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.[5][5]
Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman
Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentnag
pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai
visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki
dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian,
menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai
penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan
modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk
perkembangan.[6][6]
Gus Dur pada sikap optimismenya
bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan
terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat
mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi
juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara,
sekalipun.
Singkatnya, konsep pendidikan Gus
Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan
bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia
yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan.[7][7]
Pendidikan Islam dalam perspektif
Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam
tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern.
Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai
dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah
perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan
tidak melupakam esensi ajaran Islam.
2.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam untuk
memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena
pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk
menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari
pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam
secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk
menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.[8][8]
Pendidikan dalam Islam merupakan
sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), baik
secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang
diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah)
pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai
proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah
keberadaannya.
3.
Kurikulum
Pembelajaran
Sistem pembelajaran yang diharapkan
menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat
doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga
akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi.
Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:
a.
Orientasi
pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya,
pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik
pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan
dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek
kognitif (pengetahuan);
b.
Dalam proses
mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga
membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri
peserta didik;
c.
Guru harus
benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya
mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik
bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer
of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value
and skill dan pembentukan karakter (character building).
Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan
Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa
pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid
dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan
objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu
bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan
konteks zaman yang ada disekitarnya.[9][9]
4.
Metode
pembelajaran
Salah satu metode pendidikan Islam
dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat
penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam
perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh
kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.[10][10]
Terkait
pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren
harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga
merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem
pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak
didik.
5.
Konsep
pendidik
Menurut Gus Dur, pendidik harus
memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan
menerapkan manajemen modern. Guru juga harus benar-benar memahami makna
pendidikan dalam arti sebenarnya.
6.
Konsep peserta didik
Peserta didik dituntut untuk selalu
berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya
tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang
dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti
pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses
pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik.
7.
Evaluasi
Pembelajaran
Gus dur
menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang
berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih
penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan
yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang
berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan
praktisi pendidikan dan pendidik.
D.
Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
Sebagai intelektual Sunni tradisional
pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi
khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi
kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi
khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut
berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh
penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang
kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.
Jika dilacak dari segi kultural, Gus
Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia
pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya
timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya
barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya
terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang
secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir
yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah
dipahami, alias kontroversi.
E.
Relevansi Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid dengan
Pendidikan Saat Ini
Pemikiran
K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya
pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk
memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih dipertahankan dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Artinya,
dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam
mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah
menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang
mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif
Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama.
Orientasi pendidikan lebih
ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif,
kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan
selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di
Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus
sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Dari segi
kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini.
Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of
knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta
pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran
tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan
pendidikan berkarakter.
Pembaruan
pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman,
namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski pemikiran dan konsep
pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji
lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai pendidikan tersebut
masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula diterapkan dalam
pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan Islam dalam perspektif
Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam
tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern
sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai
dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia
merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk
menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan
Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian
tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta
didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.
Kurikulum pendidikan Islam menurut
K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan
pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan
bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan
berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya
sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya
akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus
memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka
dan menerapkan manajemen modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Faisol.
2013. Gus Dur dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Rifa’i,
Muhammad. 2013. Gus Dur.
Yogyakarta: Garasi.
Saefulloh,
Aris. 2003. Gus Dur vs Amien Rais. Yogyakarta: Laelathinkers.
Sholahuddin,
M. Sugeng. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Pekalongan: Stain
Press.
[1][1] M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Pekalongan:
Stain Press, 2005), hlm. 15.
Subscribe to:
Posts (Atom)