Wednesday 24 January 2018

perbandingan madzhab

BAB II
PEMBAHASAN

1.1.Pengertian Shalat
Menurut bahasa shalat adalah berdoa untuk kebaikan. Sedangkan menurut  istilah ahli fiqih, shalat adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini meliputi semua shalat yang didahului dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Pengertian ini tidak mencakup sujud tilawa ketika mendengar ayat Al Qur’an yang mengandung sesuatu yang dapat menimbulkan sujud tersebut tanpa takbir atau salam.
a)      Menurut madzhab Maliki (Al Malikiyah) dan madzhab Hambali (Hanabilah)
Mereka memberi definisi, bahwa shalat adalah pendekatan diri kepada Allah dengan perbuatan yang memilki takbiratul ikhram dan salam atau berupa sujud saja. Yang dimaksud dengan pendekatan diri kepada Allah adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kehadirat Allah. Sedangkan yang dimaksud  perbuatan menurut mereka adalah apa saja yang menngandung perbuatan anggota badan baik berupa ruku’ atau sujud, dan perbuatan lisan yang terdiri dari membaca Al Qur’an dan bertasbih, dan juga mengandung perbuatan hati berupa rasa khusyu’ dan tunduk.
b)      Menurut Hanafi dan syafi’i
Dalam arti ini tidak berbeda pendapat dengan golongan maliki dan hambali. Perbedaan pendapat diantara mereka adalah hanya pada sujud yang dikatakan sebagai shalat secara syara’. Dan urusan mengenai ini adalah tergolong mudah.
1.2.Macam-Macam Shalat
Ada beberapa shalat yang dijelaskan oleh beberapa madzhab sebagaimana yang diterangkan berikut ini.
1.      Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
Mereka berpendapat bahwa shalat itu ada empat macam, yaitu:
Ø  Shalat fardhu ain, yaitu seperti shalat lima waktu
Ø  Shalat fardhu kifayah, yaitu seperti shalat janazah
Ø  Shalat wajib, yaitu shalat witir, shalat qadha nafilah yang rusak sesudah (mulai) mengerjakannya dan dua shalat ied
Ø  Shalat nafilah baik yang masnunah maupun yang mandubah.
Adapun sujud tilawa menurut mereka adalah bukan shalat sebagaimana yang telah kita maklumi.
2.      Madzhab Maliki (al Malikiyyah)
Mereka berpendapat bahwa shalat terbagi menjadi lima macam. Yang demikian ini karena  ada kalanya shalat itu mengandung ruku’, sujud, membaca, takbiratul ikhram dan salam, atau adakalanya tidak mengandung.
Bagian pertama terdiri dari tiga macam, yaitu:
Ø  Shalat fardhu lima waktu
Ø  Shalat nafilah dan sunnah
Ø  Shalat raghibah (yang disenangi), yaitu dua rakaat fajar.
Sedangkan bagian yang kedua terdiri dari dua macam, yaitu:
Ø  Sesuatu yang mengandung sujud saja, yaitu sujud tilawa
Ø  Sesuatu yang mengandung takbir dan salam saja, tanpa ruku’ dan tanpa sujud, yaitu shalat janazah.
Dengan demikian shalat secara keseluruhan ada lima macam.
3.      Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Mereka berpendapat bahwa shalat  terbagi menjadi dua macam yaitu:
Ø  Shalat yang mengandung ruku’ sujud dan bacaan. Shalat ini terdiri dari dua macam yaitu shalat fardhu lima kali dan shalat nafilah
Ø  Shalat yang tanpa ruku’ dan tanpa sujud akan tetapi tetap mengandung takbir, bacaan dan salam, yaitu shalat janazah.
Menurut golongan syafi’iyyah tidak ada shalat wajibah sebagaimana pendapat golongan hanafi dan tidak ada shalat raghibah sebagaimana pendapat golongan maliki.
Golongan syafi’i tidak menamakan sujud tilawa sebagai shalat seperti golongan hambali dan golongan maliki. Dengan demikian menurut golongan syafi’iyyah bahwa shalat itu ada tiga macam, (shalat fardhu lima kali, shalat nafilah dan shalat janazah).
4.      Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
Mereka berpendapat bahwa shalat terbagi menjadi empat macam, yaitu shalat yang mengandung ruku’, sujud, takbiratul ikhram dan salam. Shalat ini terbagi menjadi dua macam, yaitu shalat fardu lima waktu dan shalat sunnah. Sedangkan macam yang ketiga adalah shalat yang mengandung takbir, bacaan serta salam, dan tidak mengandung ruku’ dan sujud, yaitu shalat janazah. Dan bagian yang keempat adalah shalat yang hanya mengandung sujud saja. Yaitu sujud tilawa. Sujud tilawa ini menurut golongan hambali adalah shalat, sebagaimana pendapat golongan maliki.
1.3. Syarat-Syarat Shalat
Shalat mempunyai beberapa syarat yang menjadi ketergantungan sahnya. Sehingga tidak sah shalatnya apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan adapula syarat-syarat yang menjadi ketergantungan kewajibannya. Sehingga tidak wajib shalat apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
Istilah yang dipakai para madzhab berbeda-beda dalam menjelaskan beberapa syarat dan bilangannya. Untuk itu kami sebutkan secara rinci sebagaimana berikut ini.
1.      Madzhab Maliki (Al Malikiyyah)
Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat shalat terbagi menjadi tiga bagian, yaitu syarat wajib saja, syarat sah saja dan syarat wajib yang sekaligus sebagai syarat sah.
Bagian pertama yang berupa syarat wajib saja ada dua, yaitu:
a.       Baligh; jadi tidak wajib shalat atas anak kecil, akan tetapi anak tersebut diperintah untuk mengerjakan shalat ketika (telah memasuki) umur tujuh tahun dan dipikul (yang tidak menimbulkan cidera-pent) ketika berumur sepuluh tahun supaya ia terbiasa mengerjakan shalat. Sesungguhnya ketentuan-ketentuan syara’ walaupun semuanya didasarkan untuk mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan (mafsadah) dan bagi orang-orang yang berakal tentu tidak akan mendapatkan kesulitan untuk melakukan ketentuan tersebut setelah ia mendapatkan beban, akan tetapi kebiasaan mempunyai hukum sendiri. Dan manusia sudah maklum bahwa faedah dari mengerjakan shalat baik dari segi materiil maupun moral spiritual sudah cukup sebagai dorongan baginya untuk mengerjakannya. Akan tetapi dengan tidak terbiasa mengerjakan shalat, ia akan tetap duduk meninggalkan shalat.
b.      Tidak dipaksa untuk meninggalkan shalat. Sebagaimana ketika ada seorang dzalim yang memerintahkan untuk meninggalkan shalat dan apabila ia tidak mau, maka orang zhalim tersebut akan memenjarakan atau memukulnya, atau membunuhnya, atau mengikat tangannya atau menepuk mukanya dihadapan orang banyak apabila yang demikian ini akan mengurangi martabatnya. Dengan demikian orang yang meninggalkan shalat karena dipaksa tidak ada dosa atasnya, bahkan shalat itu tidak wajib atasnya selama ia dalam keadaan dipaksa. Karena orang yang dipaksa tidak lagi mendapat beban (taklif).  
Menurut mereka, yang tidak wajib atas orang yang dipaksa adalah perbuatan shalat yang secara lahir saja. Sedangkan selain dari yang lahir dan ia mampu bersuci, maka wajib mengerjakan apa yang ia mampu, seperti niat, takbiratul ikhram, membaca dan isyarah. Ia adalah seperti orang sakit yang lemah yang hanya wajib mengerjakan apa yang ia mampu dan gugur baginya apa yang ia tidak mampu.
Adapun bagian yang kedua adalah syarat sah saja, yaitu ada lima macam:
a)      Suci dari hadats
b)      Suci dari kotor
c)      Islam
d)     Menghadap kiblat
e)      Menutup aurat
Sedangkan bagian yang ketiga adalah syarat wajib yang sekaligus sebagai syarat sah, yaitu ada enam:
a)      Telah sampai kepadanya dakwah nabi muhammad SAW. Apabila belum datang kepadanya dakwah Nabi, maka tidak wajib shalat atasnya dan tidak sah shalatnya apabila ia tetap mengerjakannya.
b)      Berakal
c)      Memasuki waktu shalat
d)     Tidak kehilangan dua  perabot bersuci (wudhu dan tayamum) yaitu tidak mendapatkan air untuk wudhu dan tidak mendapatkan sesuatu yang dapat digunakan tayamum.
e)      Tidak dalam keadaan tidur dan tidak dalam keadaan lupa
f)       Tidak dalam keadaan haid dan tidak dalam keadaan nifas.
Dari sini dapat diketahui bahwa golongan Malik menambahkan Islam” pada syarat sah shalat dan tidak menjadikannya sebagai syarat wajib. Sehingga menurut mereka orang-orang kafir tetap wajib mengerjakan shalat, walaupun shalat tersebut tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya yaitu Islam. Ini berbeda dengan golongan yang lain yang menjadikan “Islam” sebagai syarat wajib. Golongan Malik juga menganggap “Suci” sebagai dua syarat, yaitu suci dari hadats dan suci dari kotor. Mereka juga menambahkan “tidak dipaksa meninggalkan shalat” sebagai syarat wajib.
2.      Madzhab Syafi’i(Asy Syafi’iyyah)
Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi dua macam, yaitu syarat wajib syarat sah. Syarat wajib menurut mereka ada enam, yaitu:
a)      Sampai kedanya dakwah Nabi Muhammad SAW
b)      Islam.orang kafir menurut golongan Syafi’i tidak wajib shalat. Akan tetapi ia disiksa karena tidak melakukan shalat sebagai tambahan dari siksa kufurnya. Sedangkan orang yang keluar dari islam (murtad), ia tetap berkewajiban shalat karena melihat dari asalnya ia adalah orang islam.
c)      Berakal
d)     Baligh
e)      Suci dari haid dan nifas
f)       Sehat indranya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatan saja
Adapun syarat-syarat sahnya ada tujuh, yaitu:
a)      Suci badan dari hadats besar dan hadats kecil
b)      Suci badan, pakaian dan tempat dari najis
c)      Menutup aurat
d)     Menghadap kiblat
e)      Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang, walaupun dengan dugaan
Dalam mengetahui datangnya waktu shalat ini ada tiga tingkatan, yaitu:
1)      Mengetahui dengan dirinya sendiri atau atau diberi tahu oleh orang yang dapat dipercaya yang mengetahui datangnya waktu shalat dengan jam yang pasti, atau dengan mendengar muadzin yang mengetahui datang waktu shalat, seperti muadzin pada masjid yang memiliki jam, atau lain sebagainya
2)       Mengetahui dengan ijtihad, yaitu berdaya upaya untuk mengetahui datangnya waktu shalat dengan cara dan sarana yang dibenarkan untuk mencapai tujuan
3)      Mengetahui karena mengikuti orang yang melakukan penelitian atau berijtihad.
Bagi orang yang melihat harus memperhatikan dan menjaga tertib ini. Sedangkan gagi orang buta boleh bertaklid.
f)       Mengetahui tata cara shalat
g)      Meninggalkan sesuatu yang dapat membatalkan shalat
Dalam hal ini golongan Syafi’iyyah melibihi golongan Malikiyyah mengenai syarat sah shalat pada tiga hal, yaitu:
a.       Mengetahui tata cara shalat, yaitu semisal tidak meyakini yang fardhu dalam shalat sebagai sunnah apabila ia orang bodoh, dan dapat membedakan antara yang fardhu dan yang sunnah
b.      Meninggalkan perkara yang membatalkan shalat, yaitu dengan tidak melakukan sesuatu yang dapat menafikan (membatalkan)shalat sampai shalat itu sempurna
c.       Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang pada shalat yang telah ditentukan waktunya (muqqatah)
Golongan Syafi’iyyah juga menambahkan “Islam” dalam syarat wajib, akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang kafir yang sebelumnya tidak beragama islam tidak wajib shalat atasnya. Artinya di dunia ini orang kafir tesebut tidak dituntut, walaupun diakhirat ia disiksa karena tidak mengerjakan shalat sebagai tambahan dari siksa kufurnya. Mereka juga berpendapat apabila orang kafir itu menferjakan shalat, maka batal shalatnya. Dengan demikian “Islam” adalah juga sebagai syarat sah shalat (disamping sebagai syarat wajib).
3.      Madzhab Hanafi (Al Hanafiyyah)
Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah, sebagaimana golongan Syafi’i.
Syarat wajib menurut golongan Hanafi ada lima, yaitu:
a)      Telah sampai dakwah Nabi Muhammad SAW. Kepadanya
b)      Islam
c)      Berakal
d)     Baligh
e)      Suci dari haid dan nifas
Banyak dari golongan Hanafi yang tidak menyebut “telah sampainya dakwah Nabi” sebagai salah satu syarat wajib, sebab telah cukup dengan menyebut “Islam”.
Adapun syarat-syarat sah menurut mereka ada enam, yaitu:
a)      Suci badan dari hadats dan najis
b)      Suci pakaian dari najis
c)      Menutup aurat
d)     Niat
e)      Menghadap kiblat
Dalam syarat wajib, golongan Hanafi menambahkan “Islam” sebagaimana golongan Syafi’i. Hanya saja golongan Hanafi berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa secara mutlak sebagai siksa tambahan dari kekufurannya. Dan jelas bahwa siksa orang kafir sebagai tambahan dari dosa kufurnya adalah masalah teori dan bukan masalah praktik (amali). Karena siksa kufur adalah siksa yang paling berat sehingga siksa-siksa yang lain adalah berada dibawahnya atau paling tidak sama nilainya dengan siksa kufur tersebut.
Golongan Hanafi juga menambahkan “Niat” sebagai syarat sah, sehingga tidak sah shalat apabila dikerjakan tanpa niat.
Dan dengan niat itulah ibadah dapat dibedakan dengan adat atau sekedar kebiasaan, dan juga dengan niat dapat dibedakan ibadah yang satu dari yang lain, sesuai dengan pendapat dari golongan Hambali yang menyebut niat sebagai syarat dan golongan Syafi’i yang menyebutnya sebagai rukun sebagaimana pendapat yang masyhur dari golongan Malik sebagaimana diterangkan pada “rukun-rukun shalat”.
Pada bagian yang lalu yaitu tentang pembahasan masalah niat telah diketahui tentang perbedaan antara syarat dan rukun. Dan bahwasannya sesuatu itu tidak sah tanpa syarat dan rukun tersebut. Dengan demikian menurut pendapat empat madzhab, tidak sah shalat tanpa niat.
Adapun mengenai niat itu sebagai syarat yang berada diluar shalat atau sebagai rukun yang berada didalam shalat sebagai juz atau bagiannya adalah merupakan masalah yang khusus bagi para penuntut ilmu yang ingin mengetahui secara mendalam tentang seluk beluk sesuatu.
Golongan Hanafiyyah tidak menyebutkan bahwa “masuk waktu shalat” sebagai syarat wajib dan tidak pula menyebutnya sebagai syarat sah. Yang demikian itu karena mereka berpendapat bahwa “masuk waktu” adalh sebagai syarat melaksanakan shalat bukan syarat shalat itu sendiri, sebagaimana telah diterangkan pada bab tayamum.
4.      Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
Mereka tidak membagi syarat shalat kecuali syarat wajib dan syarat sah, sebagaimana pendapat golongan lain. Bahwa menurut mereka syarat-syarat itu ada sembilan, yaitu:
a)      Islam
b)      Berakal
c)      Tamyiz (dapat membedakan)
d)     Suci dari hadats apabila mampu
e)      Menutup aurat
f)       Menjauhi najis baik dari badan, pakaian maupun tempat
g)      Niat
h)      Menghadap kiblat
i)        Memasuki waktunya
Mereka berpendapat bahwa semua ini adalah sebagai syarat sah. Sebagaimana dalam QS An Nisaa’:103.
Arti lafal “kitaaban” adalah diwajibkan dan difardhukan. Sedangkan arti lafal “mauquutan” adalah yang dibatasi dengan waktu-waktu tertentu. Dari ayat tersebut dapat digambarkan seakan-akan Allah berfirman bahwa shalat itu fardhu atas orang-orang islam pada waktu-waktu yang telah ditentukan, dan Nabi Muhammad SAW. Mendapat perintah dari Allah SWT. Supaya menerangkan dan menjelaskan pada umat manusia mengenai apa yang diturunkan oleh Allah kepada Beliau.
Allah SWT sungguh telah menberikan taklif (beban) kepad orang-orang yang beriman untuk mendirikan shalat, dimana taklif ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an.
Mungkin ad sebagian orang yang mengatakan bahwa yang ditegaskan oleh A Qur’an adalah mengenai kefardhuan shalat, sedangkan jumlah yang lima waktu dan dengan cara yang tertentu tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an. Jawabannya adalah bahwa Al Qur’an telah memerintahkan Nabi untuk menjelaskan pada umat manusia apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada mereka. Dan Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi kepada mereka.
Karena itulah maka para imam ijma’ (sepakat) bahwa shalat fardhu ada lima, yaitu dzuhur, ashar, maghrib, isya, subuh. Hanya saja yang menjadi perselisihan diantara mereka adalah mengenai batas-batas waktunya.
Sebagian dari mereka misalnya, ada yang mengatakan bahwa waktu itu terbagi menjadi waktu dharuri dan waktu ikhtiari. Mereka ini adalah golongan malik. Dan sebagian diantara mereka lagi ada yang berpendapat bahwa waktu dzuhur itu habis apabila bayangan telah sepadan dengan benda yang berbayangan tersebut. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa waktu dzuhur itu habis ketika bayangan mencapai dua kali dari benda yang berbayangan tersebut. Demikian seterusnya.



No comments:

Post a Comment